Laporan bertajuk “Muslim si kota kota Uni Eropa” yang dilangsir Open Society Foundation menyebut, pada 2008 di Amsterdam terdapat sekitar 90 ribu Muslim atau 12 persen dari populasi. Mayoritas Muslim di Amsterdam adalah keturunan Maroko dan Turki. Sementara lainnya berdarah Suriname, Mesir, dsan Pakistan.
Muslim di Belanda pada umumnya berasal dari komunitas Imigran yang masuk ke Belanda pada 1960-an dan mencapai puncaknya pada 1980-an dan 1990-an. Lebih dari 50 persen Muslim di Amsterdam saat ini merupakan imigran generasi pertama. Sisanya berasal dari generasi kedua.
Pada pertengahan 1960-an, pekerja Migran laki-laki asal Maroko dan Turki mulai berdatangan di Belanda. Banyak diantara mereka menetap di Amsterdam. Sejak 1970-an, para pekerja migran ini membawa keluarganya ke Belanda setelah hukum memperbolehkannya. Keluarga- keluarga buruh ini tinggal di distrik- distrik tua dekat kota, seperti DE Baarsjes dan De Pijp.
Arus Imigrasi ke Belanda terusberlangsung. Pada 1980-an, gelombang kedatangan imigran ke negri ini semakin besar. Banyak dari mereka menetap di pinggiran kota, salah satunya di kawasan sebelah barat Amsterdam, Westelijke Tuinsteden. Ini adalah daerah yang dibangun pada 1950-an hingga 1960-an untuk memenuhi kebutuhan perumahan kelas menengah. Salah satu distriknya bernama Slotervaart. Hingga saat ini Slotervaart merupakan salah satu kantong muslim di Amsterdam. Jumlah Muslim didistrik ini hampir 25 persen dari total populasi Muslim di Amsterdam.
Laporan Open Society Foundations menyebutkan pula, sebagian Muslim di Amsterdam tergolong warga yang memiliki pendidikan sangat baik. Tak sulit untuk menemukan keluarga Muslim yang hidup sejahtera, dengan suami dan istri sama-sama bekerja. Meki demikian, tak bisa dipungkiri, ada sejumlah Muslim yang pendidikan dasarnya pun tak mereka lalui secara tuntas. Akibatnya, mereka sulit mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yagn memadai. Data menunjukkan, 30 persen keluarga Muslim di Amsterdam hidup dengan gaji minim.
Laman www.euro-islam.info merujuk pada sebuah riset di Amsterdam mengungkapkan, wirausaha adalah kegiatan yang menjadi sumber penghasilan bagi komunitas Muslim asal Mesir, Pakistan, dan India. Wirausaha ini mereka lakuakn dalam sekala kecil. Umumnya, mereka menjalankan bisnis sendiri, tanpa melibatkan pihak lain. Tercatat, hanya 5 persen aktivis bisnis kaum Muslim yang memiliki badan hukum dan mendapatkan status BV.
Seperti halnya di kota-kota lain di Eropa, Muslim di Amsterdam pun dibayang- bayangi oleh tindakan diskriminasi. Salh satu bentuk diskriminasi dalam standar upah. Dalam hal ini, besaran upah pekerja Muslim lebih rendah dibandingkan upah warga Belanda non- Muslim. Sebuah studi yang dilakukan Universitas Amsterdam pada 2002 membuktikan hal itu. Studi ini menemukan, untuk jenis pekerjaan yang sama, pekerja Muslim hanya diberi upah 13.2 uero per jam, sedangkan warga non-Muslim asli Belanda 14,9 euro per jam.
No comments:
Post a Comment